Perubahan Iklim Global, Jakarta Bisa Tinggal Nama
25 Agustus, 2007 at 17:36 23 komentar
Koran Suara Pembaruan
25 Agustus 2007
oleh: Alex Suban
Sumber: Suara Pembaruan Online
Banjir menggenangi kawasan Pulomas dan Kelapa Gading di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jakarta, Februari lalu.
Sebuah penelitian internasional baru-baru ini memperlihatkan hasil yang cukup mencengangkan. Sepersepuluh penduduk dunia atau sekitar 634 juta orang yang tinggal di dekat laut akan tenggelam ketika es di kutub bumi mencair akibat pemanasan global.
Tidak sampai di situ saja, penelitian itu juga memprediksikan, seluruh Jakarta, sebagian Jawa Barat, dan Banten merupakan kawasan yang akan tenggelam di akhir abad ini.
Penelitian ini juga dikuatkan melalui penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2007 yang menyebutkan pada tahun 2050 nanti, daerah- daerah di Jakarta seperti Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing akan hilang, juga Muara Gembong, Babelan, dan Tarumajaya di Bekasi.
Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar, mengamini penelitian itu dan mengaku risau dengan kondisi tersebut. Dia mengatakan, Bandara Soekarno-Hatta dan kawasan Ancol di Jakarta Utara hanya akan tinggal nama alias tenggelam pada tahun 2050.
Selaku pejebat negara, tentu saja Rachmat Witoelar tidak hanya asal omong. Dia mengaku, memiliki data kalau saat ini elevasi muka air laut di Teluk Jakarta sudah naik 61 sentimeter. Penelitian ITB sendiri menyebutkan permukaan air laut Teluk Jakarta sudah naik setinggi 0,8 meter.
Dampak pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim memang telah dan akan membawa dampak yang luas terhadap manusia dan lingkungan. Contoh nyata yang sudah dialami warga Jakarta adalah banjir besar di awal Februari 2007 yang mengakibatkan lebih 50 orang meninggal dunia. Menurut penuturan sejumlah ahli, banjir Februari lalu itu tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global yang saat ini tengah melanda dunia.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim mulai dibicarakan sejak awal tahun 1980-an oleh beberapa negara. Meski demikian, baru tahun 1992 di Kenferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Rio de Jainero, Brasil, keinginan tentang penangangan dampak perubahan iklim itu dibicarakan secara serius.
Perubahan iklim tidak lepas dari campur tangan manusia. Ahli perubahan iklim dari ITB, Armi Susandi menjelaskan, memasuki abad ke-19, manusia telah melakukan perubahan dalam hal teknologi dan gaya hidup. Revolusi industri di Inggris pada awal abad ke-19 merupakan awal sebuah era baru dalam kehidupan manusia, yaitu era industrialisasi. Penggunaan berbagai bahan bakar fosil untuk bahan bakar alat-alat industri dan transportasi telah membuat sebuah perubahan besar pada kondisi iklim dunia.
Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC dan PFC akibat aktifitas manusia menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer.
Hal ini menyebabkan fenomena pamanasan global yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi secara global. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim, yaitu perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan, dan tekanan udara yang pada akhirnya akan mengubah pola iklim dunia. Pemanasan global juga telah membuat gunung-gunung es di kedua kutub bumi mencair.
Armi Susandi dalam sebuah makalahnya mengatakan, perubahan iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu temperatur dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
Perubahan temperatur ini akan menyebabkan perubahan variabel atmosfer lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan curah hujan.
“Perubahan curah hujan yang dimaksud tidaklah mengubah jumlah curah hujan, tapi yang berubah secara drastis adalah distribusinya. Artinya pada musim hujan, suatu daerah akan mengalami hujan lebih banyak dan pada musim kemarau akan mengalami hujan yang lebih sedikit,” kata Armi.
Kondisi ini, lanjut Armi, akan menimbulkan banyak permasalahan bagi kehidupan manusia. Dengan kondisi tersebut, pada musim hujan potensi terjadinya bencana seperti banjir, longsor, dan penyebaran penyakit melalui vektor dapat meningkat.
Sedangkan, pada musim kemarau bencana akan terus berlanjut seperti dengan adanya kekeringan sehingga akan menyebabkan gagal panen dan menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit dan gangguan pencernaan yang dapat berujung pada kematian.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan kenaikan suhu global akan berkisar antara 1,6-4,2 derajat Celsius pada tahun 2050 atau 2070. Di Indonesia sendiri, akibat perubahan iklim akan membuat suhu meningkat menjadi 1,6-3,0 derajat Celcius pada 2050-2070 berdasarkan perkiraaan Canadian Climate Change Model dan United Kingdom Meteorological Office. Sedangkan menurut perkiraan dua lembaga Amerika Serikat, yaitu Global Fluid Dynamic dan Goddart International Space Study, suhu Indonesia akan meningkat 2 hingga 4,2 derajat Celcius.
Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup, Masnellyarti Hilman mengatakan, Jakarta sudah mengalami dampak perubahan iklim. Hal ini terlihat dari suhu udara di Jakarta sempat naik menjadi 37 derajat Celcius padahal dalam kondisi normal suhu udara di Ibukota hanya berkisar 30-33 derajat Celcius.
Tata Ruang
Sebagai kota yang terletak di pinggir pantai, Jakarta sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Ironisnya, perencanaan tata ruang Jakarta dari tahun ke tahun justru semakin tidak ramah lingkungan.
Lihat saja saat ini di Jakarta setiap hari lalu lalang sekitar 7,5 juta unit kendaraan, yang semuanya mengeluarkan gas karbon yang mencemarkan udara dan berkontribusi memanaskan bumi.
Di sisi lain, dari waktu ke waktu luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berkontribusi menyerap karbon semakin berkurang akibat pembangunan. Daerah resapan air juga mengalami hal yang sama, hilang dan diganti dengan perumahan, apartemen, dan gedung-gedung megah.
Mengantisipasi dampak perubahan iklim, seharusnya Jakarta bersiap diri. Mumpung sebentar lagi Jakarta punya pemimpin baru, pembenahan menyeluruh terhadap tata ruang dengan memasukkan unsur perubahakan iklim ke dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta dan harus segera dilakukan.
Sebagai warga kota, kita tentu tidak mau Jakarta 40 tahun lagi adalah kota tanpa Ancol, Cilincing, Muara Angke, dan Kepulauan Seribu. Kita juga tidak mau, Indonesia di akhir abad ini adalah Indonesia tanpa Jakarta seperti skenario yang diprediksi para ahli internasional.
Di Amerika Serikat, seperti diberitakan Newsweek (edisi 16-23 April 2007), sebagian besar warganya yakni 83 persen menganggap pemanasan global dan perubahan iklim adalah persoalan yang sangat serius.
Sebanyak 63 persen warga AS menilai negara mereka sedang dalam bahaya lingkungan dan sudah menyamakan dengan bahaya teroris.
Jika AS saja yang memiliki hampir semua sumber daya untuk menghadapi perubahan iklim sudah menyadari dan melakukan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi, Indonesia khususnya Jakarta yang justru memiliki keterbatasan baik dana maupun sumber daya manusia harusnya menyadari dan melakukan upaya lebih dini untuk mencegah dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus disadarkan bahwa suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, kota ini akan mengalami dampak perubahan iklim. Bahaya sudah di depan mata, kenapa kita masih diam? (SP/Erwin Lobo)
Entry filed under: Berita Lingkungan, Berita Lingkungan Lokal.
23 Komentar Add your own
Tinggalkan Balasan
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. Eka | 29 Agustus, 2007 pukul 16:46
Kenyataan masa depan yang merupakan warisan kita untuk anak cucu kita.
Kesadaran tentang ini harus mulai disosialisasikan secara terpadu mulai dari pendidikan dasar, keluarga hingga seluruh Indonesia.
Kampanye mulai dari diri sendiri dan hal yang terkecil dan termudah untuk melakukan hal-hal pencegahan dampak pemanasan global adalah salah satu cara.
Tapi kalau pemerintah tidak punya panduan yang jelas untuk masalah ini, masyarakat tidak akan bisa menerapkan pola hidup ramah lingkungan.
PR yang berat.
2. awang | 25 September, 2007 pukul 11:13
masa depan bukan warisan untuk cucu kita, tetapi saat ini merupakan titipan cucu kita, untuk kita jaga dengan baik. dimasa depan kita pasti akan dikutuk oleh cucu kita karena tidak bisa menjaga alam ini.
terima kasih atas segala informasinya mas,
awang
3. iip | 10 Oktober, 2007 pukul 09:03
salam kenal
4. dede | 29 Oktober, 2007 pukul 20:50
apa dampak dari iklim global pada jakarta???
5. ekopfren_ekop | 5 Desember, 2007 pukul 22:09
Kesadaran diri kita sendiri yang paling terpenring……?.
6. Kodok | 7 Desember, 2007 pukul 10:33
lakukan hal- hal nyata, mulai dari hal yang kecil tidak membuang sampah sembarangan, hemat energi, kurangi pemakaian kendaraan pribadi dan penggunaan sampah plastik.
salam….
7. girl | 19 Desember, 2007 pukul 12:16
fiuh~~~
pening pening!!!sadarlah mulai dari diri sendiri~
mending jalan kaki kalo deket kga uc naek mobil,aplagi mobil pribadi,,nambah sumpek jakarte~
8. arif | 29 Desember, 2007 pukul 14:45
minta makalah tentang banjir dong….
9. lil bow wow | 9 Januari, 2008 pukul 14:17
siapa yang salah??alam ato manusia??
10. aoi sora | 15 Januari, 2008 pukul 14:09
semua ini, takkan berhenti jika keangkuhan masih bertahta, jika keajaiban-Nya terabaikan. segeralah bersujud kawan sebelum semuanya kan sia-sia… itu yang terbaik…untuk hidup kita(krispatih-kita dan dunia).
alam tidak tau apa-apa. manusialah yang membuat alam rusak, menangis, dan hancur T.T
11. wellyanto | 8 Februari, 2008 pukul 01:55
Sebenernya kita semua hanya komen saja yang paling penting ialah perbuatan. APAKAH KITA SEMUA SUDAH BERBUAT? Semua itu hanyalah ada dan saya yang tahu THANK’s.
saran:
1. kalau bisa diadakannya pertandingan akan penghijauan kembali yang mempunyai lahan yang luas.
2. pemberian suatu cendera mata bagi pelaksana akan pemberantasan pemanasan global
3. coba di lakukan pengecekan akan tugas2 dari polisi kehutanan di seluruh indonesia.
12. Ical S. | 18 Februari, 2008 pukul 14:29
Tolong dong artikel/makalah tentang Pengaruh Perubahan Iklim Global terhadap kota Jakarta
13. pieter | 2 Maret, 2008 pukul 01:12
apakah kita harus pasrah dengan adanya pemanasan global yang hampir tidak dapat tihentikan ini?
14. fany | 9 Maret, 2008 pukul 11:05
alam gx slah sma sekali cuY!!!!!!!
15. pelajar | 2 April, 2008 pukul 15:12
duh..sedihnya
bumi kita bakal hancur gara2 ulah yg tinggal di bumi,terus gimana caranya biar kita engga kena imbas dari GLOBAL WARMING????
bisa engga ya kita nyelametin bumi ini ama isinya dari GLOBAL WARMING????
moga2 kita semua bisa nyelametin bumi ama isinya ini….AMIEN
16. ugie | 30 Mei, 2008 pukul 16:15
capek de…!!! manusia tue emang mo menang ndiri!! ga da niat banget jaga lingkungan,,they’re just dont care!!
ga usah de jauh2, mulai dari hal kecil ajah!! jangan buang sampah sembarangan kek,ga org jakarta ga org bali,,kita mesti care man!!!
17. Teguh | 15 Juli, 2008 pukul 11:19
Perubahan Iklim tidak dapat dihentikan namun bisa dikurangi dampaknya…hanya dimuali dari diri kita sendiri yang bisa menentukan apakah kita akan berubah atau hanya terima dan pasrah! mari kita lakukan ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM sekarang juga!!!
18. meteo | 14 Oktober, 2008 pukul 19:17
ayo low…..
lama-lama pulo jawa yang hilang&^^%*^*%
19. khadafy | 3 April, 2009 pukul 16:04
pemerintah harus serius mengatasi masalah pemanasan global
saya pribadi melihat hasil KTT di Nusa Dua Bali seperti JALAN DI TEMPAT,OMPONG TANPA HASIL,DAN HANYA BUANG-BUANGIN UANG NEGARA.
KTT dilaksanakan tapi apa dampaknya?
apa menunggu proposal kyiyoto? ? ?
pemerintah jangan jadi SAPI OMPONG yang tidakbisa berbuat apa-apa,sebagai tuan rumah pemerintah harus bisa ambil keputusan untuk perubahan iklim ini.
20. rahayu | 22 Mei, 2009 pukul 12:29
tolong hentikan pemakaian lampu yang berlebihan.karena itu dapat menyebabkan pemanasan global.setidaknya matikan lampu di seluruh indonesia sekitar jam 23.00 agar dampak pemanasan global berkurang.selain itu,saya menyarankan kepeda pemerintah agar cepat menanggulangi masalah ini.tolong sekali yahh
21. ENA | 16 Juli, 2009 pukul 18:59
Penyumbang gas CO2 dan CH4 terbesar ke udara adalah kotoran dari hewan ternak diseluruh dunia. So….. kurangi atau berhentilah makan daging, untuk menyelamatkan bumi.. Sumber energi yang dibutuhkan (tumbuhan, air, tanah) untuk menyediakan 1 porsi protein hewani = 20 porsi nabati. Begitu banyak yang kita boroskan untuk memuaskan nafsu makan manusia…..
22. witokare | 27 Juli, 2010 pukul 09:58
saatnya kita menanam untuk membaiki iklim.bukan cuma retorika dan serimonial-serimanial belaka tanpa tidak nyata
23. apartemen the green kosambi | 21 September, 2017 pukul 10:55
Fantastic site you have here but I was wanting to know if you knew of any community forums that cover the same topics discussed
here? I’d really love to be a part of community where I can get opinions from other knowledgeable people that share the
same interest. If you have any recommendations, please let me know.
Thanks a lot!