Orang Indonesia Kurus Berkat Ethanol dan Bio-diesel

15 April, 2007 at 22:42 27 komentar

Jagung menjadi ethanol

Saya telah menulis sebelumnya dengan judul Bio-diesel: solusi atau problem bahwa dengan adanya perluasan perkebunan kepala sawit karena kebutuhan bio-diesel akan menjadi problem lanjutan karena adanya masalah-masalah baru seperti naiknya harga makanan, dll.

Sekarang ada masalah baru, yaitu perluasan perkebunan tebu, singkong dan jagung untuk membuat ethanol. Baru-baru ini Indonesia juga baru saja membuat perjanjian dengan Brazil yang akan membantu Indonesia mengembangkan industri tebu untuk Ethanol. Ethanol telah dibuktikan bahwa effisiensi energi Ethanol walaupun baik untuk pemakaiannya, sangat tidak effisien dalam produksinya, seperti penggunaan lahan, pupuk, traktor, manusia, dll.

Indonesia masih sangat bergantung pada import untuk Jagung yang kebanyakan dipakai untuk pembuatan pakan ternak dalam jumlah besar. Di Amerika sendiri, peternak disana sudah merasakan akibat dari tingginya harga jagung dengan jatuhnya produksi daging sapi, babi dan ayam. Petani rebutan dengan industri Ethanol untuk supply jagung. Inflasi daging di Amerika yang biasanya hanya 2 persen naik menjadi 3.5 persen. Meksiko sedang merasakan inflasi harga Tortila, yang merupakan makanan sehari-hari disana akibat tingginya harga jagung. Barang lain yang sama pentingnya adalah kedelai, dimana Brazil telah sukses membuat Ethanol dari kedelai untuk penggunaan di mobil. IMF mengatakan bahwa inflasi makanan naik 10 persen di seluruh dunia di tahun 2006 karena naiknya harga jagung, gandum dan kedelai. Itu semua adalah komoditi yang kita makan sehari-hari dan sulit untuk diproduksi di dalam negeri. Gandum yang kita impor dari Australia dan Amerika adalah bahan dasar untuk Indomie dan mie lainnya. Kedelai yang kita impor dari berbagai belahan dunia adalah bahan dasar tahu, tempe hingga oncom. Apakah kita mau menjadi kelaparan karena negara lain berlomba untuk membuat ethanol dari bahan tersebut?

Bila hal ini terjadi di Indonesia, kita akan mendapatkan krisis makanan yang cukup menakutkan karena ayam merupakan sumber protein utama untuk rakyat yang cukup terjangkau. Bila harga jagung impor naik, maka harga pakan akan naik, menaikkan harga ayam potong dan telur. Belum lagi barang-barang komoditi lainnya seperti gula yang juga akan naik akibat produksinya berebut dengan produsen ethanol.

Kita harus memiliki solusi untuk dalam negeri kita. Kita harus mengurangi ketergantungan kita pada komoditi impor seperti gandum dan kedelai yang sulit untuk diproduksi lokal. Kita harus mengembangkan komoditi lokal yang dapat menggantikan seperti ketela/singkong, dll. Hal ini adalah masalah nasional yang harus kita pikirkan bersama karena bila kita terlambat, maka musibah tidak dapat dicegah. Bila Amerika ingin mengurangi ketergantungan minyak dari Timur Tengah, maka kita harus mengurangi ketergantungan kita pada komoditi impor.

Iklan

Entry filed under: Energi Alternatif, Fakta Lingkungan, Manifesto Hijau.

Hemat energi dengan merawat AC Hari gini masih pake kertas? Pake dong ATM atau online

27 Komentar Add your own

  • 1. harry  |  24 Juni, 2007 pukul 19:43

    Begini lho mas/mbak. Oleh sebab itu, biodiesel HARUS-lah dibuat dengan menggunakan bahan baku yang non-edible (bahan tak dapat dimakan), sehingga biodiesel tidak akan berkompetisi dengan perut.
    Jadi sebenarnya saya sangat mendukung pembuatan biodiesel dari Jarak Pagar, karena bungkil jarak tidak bisa dimakan. Biarlah sawit, jagung, singkong dll digunakan untuk pemenuhan kebutuhan primer, alias makan!

    http://sampahbandung.blogspot.com

  • 2. dodolipet  |  24 Juni, 2007 pukul 23:17

    Betul, saya setuju sekali dengan komen dari mas harry. Masalahnya memang saat ini kebanyakan biodiesel dibuat dari minyak kelapa sawit, jagung dan singkong karena jumlahnya sudah sangat banyak sehingga orang bisa dengan lebih mudah memulai pabrik biodiesel atau bioethanol, dan karena hal ini menaikkan harga minyak sawit dan jagung di pasaran, maka orang pun semakin tertarik untuk masuk ke industri sawit dan jagung sehingga terjadilah lingkaran yang tidak terhenti ini. Pohon jarak memang sangat baik untuk menjadi biodiesel, tetapi dari sisi pengusaha, karena hanya bisa menjadi biodiesel menjadikan pohon jarak beresiko tinggi bila tidak laku. Sebaliknya minyak sawit dan jagung dapat dipergunakan untuk membuat bahan lainnya. Untuk bioethanol sebenarnya juga ada rumput liar dengan nama Mischantus yang sebenarnya memiliki Yield yang paling tinggi untuk minyak per ton dibanding memakai singkong. Akan tetapi banyak orang tidak mengetahui dan balik lagi akhirnya supply terlalu sedikit. Mudah-mudahan bisa banyak pengusaha yang mau mengusahakan budi daya biodiesel dan bioethanol yang lebih berwawasan lingkungan dan tidak menggangu rantai makanan kita.

  • 3. kawansyam  |  15 Juli, 2007 pukul 14:42

    Setuju!!!
    Saya suka yang anda garis bawahi “orang indonesia kurus karena bio-fuel”…
    Tapi sebelum biofuel menjadi tren seperti sekarang, konversi hutan dan perampasan lahan pertanian rakyat demi perusahaan sawit telah lama terjadi. Alih-alih bikin ‘gorengan’ jadi murah karena produksi minyak goreng berlimpah… CPO dari Indonesia malah dijual ke luar negeri (katakanlah eropa) untuk bahan baku pakan ternak babi. Halah!

    Sama halnya dengan produksi pulp indonesia, yang ujung-ujungnya cuma buat kertas cebok di eropa/amerika 😦

  • 4. mang Layang  |  3 Agustus, 2007 pukul 14:32

    Salam kenal Kang, bagus sekali blognya.
    Khusus mengenai Mischantus, adakah link atau info mengenai tanaman ini atau nama lokalnya ? karena sepengetahuan kami Mischantus (kalo lihat di gambar mirip manjah / kaso kata orang sunda sih) diambil energi panasnya dengan cara dibakar..

    Nuhun Kang.

  • 5. dodolipet  |  5 Agustus, 2007 pukul 00:35

    Miscanthus itu sejenis rumput liar. Sesuai report yang ada, miscanthus adalah tanaman yang sangat cocok di daerah Tropis seperti Indonesia. Tanaman ini juga tidak memerlukan banyak air dan pupuk sehingga meminimalkan perawatan. Saya masih tidak tahu nama lokalnya. Nanti saya terus coba cari tahu. trims untuk komentarnya.

  • 6. sukab  |  10 September, 2007 pukul 09:47

    Lapor Pak,

    kalau soal jarak, ada satu perusahaan nasional (swasta) di-duit-in oleh Nirwan Bakrie dan dikendalikan oleh Nurdin Halid di Makassar, namanya PT Jarak Pagar Nusantara (JPN). Mereka mau bikin areal penanaman jarak besar-besar-an.Klaim awal mereka sudah ada 8000 hektare lahan yg siap ditanami.

    Anehnya, karena saya ada di sulsel sini, saya ke pelosok2, ndak ada tuh lahan perseorangan/bumn/swasta yang punya lebih dari 2000 hektar. Hanya ada 1 bumn yaitu PTPN di sulsel ini yg punya lahan lebih dari 5000 hektar. Biaya sewa 1 hektar punya ptpn di daerah kab. enrekang itu 3 – 4,5 juta rupiah. PTPN sendiri punya lahan di kab. enrekang luasnya 10.000 hektar.

    Yang gue bingung duitnya darimana, petani malas tanam jarak karena diperkirakan baru panen di tahun ke-tiga, harga jaraknya juga hanya 800 perak per kg. Untungnya dimana? masak petani mesti miskin terus, pola pembinaan orde baru yg sudah 30 tahun ndak bisa bikin petani maju dan mandiri.

    Kemudian di sulsel ini ndak ada tuh / belum ada pabrik pengolahan biji jarak jadi bio-diesel.
    gitu aja laporannya pak….

    thank you

  • 7. Ridho  |  5 November, 2007 pukul 17:11

    Yah, mana bisa deh.. Efisiensi ekonomis tanah untuk bioetanol lebih besar daripada untuk pangan.

    Jadi, sebenarnya sih gampang aja. Untuk bahan pangan kita impor, sementara yang ada kita olah jadi bioetanol.

    Hasil bioetanol lebih mahal, dan bisa buat beli bahan makanan lebih banyak daripada kalau dipakai untuk tanaman pangan..

  • 8. sato  |  6 November, 2007 pukul 17:00

    Jarak butuh 3 tahun untuk berbuah? Yang saya baca, 5-6 bulan sudah bisa berbuah. Yang benar yang mana, ya? BTW, ada yang punya link sehubungan dengan pengolahan jarak menjadi ethanol? Saya ingin mencari informasi untuk berbisnis ethanol dari jarak. Thanx sebelumnya.

  • 9. Anthonio  |  10 November, 2007 pukul 17:17

    Mas,
    Kebutuhan akan jagung untuk Indonesia, masih Import. Kalau saja setiap kabupaten ada gerakan menanam jagung saja, mungkin bisa terpenuhi, alias ndak usah import.
    Kenapa kita itu sukanya import, lha wong kalau diseriuskan juga bisa…

    Pakanan ternak sangat penting. Kita harus sadar, jangan lha jagung saja import.. Ciptakan gerakan menanam jagung di lahan yang tidak produktif. Dan para akli kimia pembuat ethanol, mulai mengembangkan industri ini… dengan tujuan membantu rakyat/petani jagung..

    Terima kasih..

  • 10. dodolipet  |  10 November, 2007 pukul 17:36

    Mas Anthonio,

    Memang sebenarnya lucu karena jagung itu merupakan tanaman tropis yang seharusnya bisa sangat baik dikembangkan di Indonesia. Tetapi memang semua prasarana mulai dari sarana irigasi, teknologi penanaman, bibit yang unggul, sumber energi, SDM dan transportasi harus disiapkan karena bisa saja lahan cocok tetapi tetap kalau cara penanaman masih tradisional dan sebentar-sebentar kurang air yah sulit. Kalau mau disebarluaskan kabupaten yang lain harus mencontoh Gorontalo dimana investasi pertama dilakukan untuk memperbaiki pelabuhan laut dan udara sehingga setelah panen pun jagung bisa dikirim apakah itu export ke Filipina atau daerah lainnya. Doakan saja Pak. Trims.

  • 11. diah  |  13 November, 2007 pukul 15:58

    Salam kenal,……..
    Sepakat dengan temen2 negara kitakan negara kaya akan sumber daya alam yang dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat, btw jerami rumput bisa dijadikan sumber bahan bakar terbarukan lho kenapa tidak kita produksi sendiri itung2 belajar jadi negara maju masak kita diakal-akali orang luar terima aja, prosesnya kita serahkan pd ahli kimia aja juga menguntungkan bagi petani, kita tidak rebutan rumput dengan sapi lho!!!

  • 12. khuzaenudin  |  19 November, 2007 pukul 19:28

    bener juga kenapa kita diakal akalin terus dari dulu sampai sekarang.anehnya gak pada sadar sadar.tobat benar deh kia.kita harus karja keras bahu membahu.gm?setujuu.trus pilih deh pemimpin yang top.kalau atas ok?bawah jga?ok.

  • 13. Leon Abirawa  |  29 Desember, 2007 pukul 10:25

    Kalau biodiesel dari minyak goreng bekas (jelantah) gimana?
    Katanya perusahaan ini memproduksi dan mendaur ulang minyak goreng bekas. Juga membeli minyak jelantah. Tapi saya belum bisa menyelidiki lebih lanjut karena jarak dan waktu. kalau ada yang sempat bisa diselidiki atau tidak kebenarannya?
    terima kasih:
    Tn. Johannes Siddharta. (CE0). PT. Sumber Agro Energy. Plaza Kebon Sirih. Jakarta. Indonesia.. 08159128374. CP: Lukman. 08158728007.

  • 14. f1f4  |  22 Februari, 2008 pukul 07:14

    Kalau aku sih nggak usah bahan makanan yg dibuat biodiesl, betul karena akan bersaing dengan perut. Trus kalau tanaman jarak masalahnya adalah jarak bersaing dengan tanaman pangan untuk memperoleh lahan tanaman. Jadi biar ndak ada yg terdistorsi mendingan kita gunakan limbah pertanian aja, kan banyak itu dan tidak perlu bersaing dengan apa2, bahkan malah menjadi solusi bagi melimpahnya limbah yang kadang2 ndak bisa ke urus. contoh jerami n sekam padi sy rasa ini bisa dimanfaatin tinggal bagaimana caranya, dan masih banyak lagi yg lainnya. Bagaimana mas or mbak????

  • 15. arie  |  30 Maret, 2008 pukul 13:01

    Idem dg sebagian besar di aas, idealnya bahan baku energi terbarukan emmang diambil dari bahan non edibel (non pangan), alias dari bahan2 yang nilai ekonominya saat ini rendah. Jadi tidak perlu berebut dengan masalah perut. Misal untuk etanol, tidak perlu dari tebu tapi bisa dari molases/tetesnya.
    Tapi menurut saya, yg paling penting adalah dalam mengatasa masalah energi adlh usaha ‘PENCERDASAN MASYARAKAT’, karena selama ini masayrakat kita ‘blm ikut diajak berfikir’, misal informasi bahwa biaya produksi minyak tanah jauh lbh tinggi dari biaya produksi bensin, hanya satu level di bawah BP utk avtur, dan artinya selama ini kita sangat boros dalam konsumsi ‘SUBSIDI’ dari pemerintah. Karena kita tahunya minyak tanah itu murah, maka kita hamburkan bahkan utk sekedar cuci tangan di bengkel atau yg lain. Minimal sebagian masy yg tahu dan ‘SADAR’ bisa ikut utk menghemat.

    Utk Bpk Leon, penelitian biodiesel dari minyak jelantah setahu saya sudah banyak dilakukan oleh Teknik Kimia UI ataupun di IPB.

  • 16. kollay  |  11 Juni, 2008 pukul 18:16

    Bio-Ethanol saat ini paling banyak digeluti bersumber dari Molases, Singkong dan Sorghum. Semua ngga ada kaitannya dengan krisis pangan, kenapa? Industri bio-ethanol justru bisa menghasilkan singkong dengan produktifitas minimal 80Ton /ha. Ini 4 kali lipat dari produktifitas singkong di masyarakat. Bahkan dua kali lipat dari singkong terbaiknya Balitkabi. Lagi pula singkong tidak ditanam di tanah persawahan.

    Dengan Sorghum justru dapat meingkatkan ketahanan pangan, sebab meskipun biji sirghum dapat diolah untuk ethanol tetapi industri bioethanol lebih suka memproses batangnya saja dan biji sorghum untuk pangan. Sorghum tanaman yang bandel dan lebih suka di lahan kering.

    kemudian kalau kita mau jujur, kesulitan pangan yang sudah terjadi bukan karena ada industri ini dan itu, tapi karena memang pengelolaan yang tidak jelas. Menaikan harga tanpa membantu menaikan produktifitas sama saja dengan rentetan domino. Apalagi sangat banyak lahan-lahan nganggur yang mubazir. Lahan nganggur bersaing dengan jumlah pengangguran 😛

    Apa kita masih mau menyuruh petani menanam makanan yang tidak produktif dengan alasan ketahanan pangan? Kemudian, yang mesti diingat; Indonesia adalah negara yang bisa ditanam di empat musim dunia. Beda dengan di Amerika.

  • 17. palmertambun  |  28 Juni, 2008 pukul 16:49

    Salam kenal ….Saya petani sumatra….Petani disuruh nanam, begitu panen harga tidak terkendali alias turun, harga pupuk dan racun dll yg terkait pertanian naik……pusing…deh….

    Bertani jadinya seperti berjudi…….tidak bisa kita pastikan berapa keuntungan yg akan diraih….

    Akhirnya untuk saat ini kami rame-rame beralih ke kebun sawit yg lebih jelas masa depannya….

  • 18. fhilips  |  1 Agustus, 2008 pukul 21:26

    dimana saya bisa mendapatkan informasi tentang mesin pembuat etanol dari singkong? TRIM’S

  • 19. wahid  |  22 Agustus, 2008 pukul 14:42

    ayooo… buat yang takut harga jagung mahal ..
    untuk mengatasinya adalah silakan anda menanam jagung … pasti gak takut harga jagung mahal … senang malah …..

    Yooo menanam …. apa yang dapat kalian tanam …..

  • 20. oRANG kAMPUNG  |  6 September, 2008 pukul 23:12

    Pak Leon, kalau bisa datang ke bogor, Ada bis Kota Namanya Trans Pakuan. Bahan Bakarnya Minyak Jelantah.

  • 21. edwin  |  7 Oktober, 2008 pukul 22:19

    mohon bantuannya…….
    aku butuh data tentang biodiesel dari kacang kedelai
    mohon kasih info selengkap2nya…….dari kandungannya,,cara membuatnya menjadi biodiesel,,kelemahan dan kekurangannya

  • 22. tri  |  30 Oktober, 2008 pukul 08:34

    tolong informasi tentang etanol dari jagung,gimana cara buatnya,alatnya,kelebihan dan kekurangannya dan biaya…terima kasih

  • 23. Rukyal Basri  |  3 Desember, 2008 pukul 02:32

    Coba kita ganti dgn sorghum, penghasil ethanol yang skrg sdg dikembanbgkan besar2an di Mahad Al Zaytun, Indramayu.

  • 24. eko  |  27 Februari, 2009 pukul 14:16

    No Comment……………..!!!!!!!!

  • 25. Doni  |  24 Agustus, 2009 pukul 13:15

    Pada prinsipnya saya sangat setuju yang Rekan-rekan utarakan di atas,
    tapi selama ini kita sadari atau tidak, bahwa masyarakat kita ini cuma bisa mengomentari, mengkritik, menuntut dan mencaci.
    sangat sedikit yang bisa memberikan solusi dengan tindakan yang jelas.
    sudahlah, kita gak usah berpikir macem2, mari kita mulai dengan diri kita sendiri untuk memberikan contoh pada masyarakat/petani di sekitar kita.

  • 26. AINIYATUL M  |  10 Februari, 2011 pukul 16:17

    saatnya indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri tanpa menjadi budak budak dari negara lain. Yaitu mampu menghasilkan bahan bakar sendiri yang dapat diperbarui dari bahan sorgum, jarak pagar, singkong yang semuanya dapat tumbuh di halaman rumah sendiri.

  • 27. Raudy  |  28 Mei, 2012 pukul 21:39

    Ada satu tanaman yg org blm banyak pada tahu, yg sangat baik dlm menghasilkan etanol. Yg produktivitas nya 4-8 kali lbh besar dr tebu (Brasil). Yg tidak butuh pupuk, yg bs tumpang sari, yg bisa tumbuh di lereng2, yg berproduksi sepanjang tahun. Tanaman ajaib itu bernama AREN.

    Program yg dulu diperjuangkan oleh cawapres Prabowo di 2009 namun sayang kalah. Semoga ada bahasan mendalam mengenai potensi luar biasa dari Aren ini.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Trackback this post  |  Subscribe to the comments via RSS Feed


Agenda

Archives

RSS Bisnishijau.Org

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Kampanye Hijau











Statistik Pengunjung

  • 2.465.764 Pengunjung

Statistik

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Bergabung dengan 318 pelanggan lain

%d blogger menyukai ini: