Ayo Makan Ayam, Daging yang lebih ramah lingkungan
26 Juni, 2007 at 23:39 17 komentar
Tanpa kita ketahui, energi yang dikeluarkan untuk peternakan sangat besar dan juga boros energi. Industri ternak dianggap sebagai salah satu dari penyebab kedua atau ketiga dari masalah lingkungan global kita dimana industri ternak berpotensi menyebabkan polusi udara, polusi air dan juga pencemaran tanah. Kalau di Amerika Selatan, industri ternak menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran untuk membuat padang rumput bagi ternak. Industri ternak juga menghasilkan gas CO2 dan Methane yang dapat mempercepat perubahan iklim.
Saya menulis ini bukan untuk membuat anda menjadi vegetarian karena saya sendiri pun suka makan daging dan juga ingin agar anda bisa makan daging lebih banyak karena daging adalah sumber protein yang sangat baik. Tetapi daging yang mana?
Kalau kita lihat dari konsumsi dunia, maka Indonesia masih sangat rendah dibandingkan negara lain. Negara kita pun masih sangat membutuhkan protein yang tinggi untuk masyarakat agar bisa memperbaiki mutu gizi nasional.
Untuk sampai bisa menghasilkan 1 kg daging sapi, diperlukan 24,000 galon air untuk seluruh rantai produksinya, dibandingkan dengan kentang yang hanya membutuhkan 120 galon air untuk bisa mendapatkan 1 kg kentang. Untuk setiap 1 gram daging sapi juga memerlukan 50 gram gandum dan biji-bijian sebagai makanan ternak. berdasarkan data dari FAO tahun 2006, Peternakan sapi diseluruh dunia juga memberikan kontribusi sebesar 60% dari total CO2 yang dihasilkan industri ternak dengan jumlah total populasi 1,5 juta sapi. Bila kita bandingkan, industri ayam dengan total populasi 17,5 juta ayam hanya berkontribusi sebanyak 1,9%.
Dari semua data ini, bukan tidak boleh makan daging, tetapi yang mana. Kalau kita mau bandingkan antara sapi dan ayam, maka ayam akan jauh lebih ramah lingkungan. Produksi daging ayam pun sudah menjadi suatu industri sehingga ongkos dari produksi pun bisa jauh lebih murah dibandingkan produksi daging sapi. Kalau anda takut flu burung, itu disebabkan oleh peternakan perorangan di rumahan yang ada di pedesaan saja. Tetapi untuk industri ayam sendiri dengan perusahaan yang besar dan dilengkapi dengan bio-security, kita tidak usah takut untuk tetap makan ayam.
Kita juga bisa tetap selingi makan daging ayam dengan beberapa makanan substitusi protein seperti tahu, tempe, dan makanan dari kedelai lainnya.
Entry filed under: Fakta Lingkungan.
17 Komentar Add your own
Tinggalkan Balasan
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. PB | 4 September, 2007 pukul 09:25
Yang paling ramah lingkungan bukannya ikan ?
2. dodolipet | 4 September, 2007 pukul 21:43
Betul. Memang ikan lebih ramah lingkungan. saya memang hanya membandingkan ayam dan sapi karena 2 daging tersebut sangat umum dan sudah menjadi industri. kalau ikan memang sulit dikaji karena ada yang air laut dan air tawar walaupun secara konsumsi daging protein memang paling besar. jadi ayam dan sapi yang sudah menjadi industri lebih mudah dibandingkan berdasarkan makanan yang dibutuhkan untuk menjadikan berat ideal. Ikan laut juga secara lingkungan sulit dihitung kecuali dari pemakaian kapal laut dan pengolahannya. tetapi makanannya sendiri tidak tertakar. thanks untuk inputnya.
3. Lona | 10 Desember, 2007 pukul 21:41
Anda ngawur kayaknya…. flu burung justru berasal dari industri ternak ayam skala besar. Yang bener ah…..
4. Lona | 10 Desember, 2007 pukul 21:45
Lagian…perbandingan Anda gak fair.. Belajar lagi ah….
5. dodolipet | 10 Desember, 2007 pukul 22:03
Halo Lona, memang flu burung bukan hanya di peternakan skala kecil, tetapi industri ternak ayam skala besar memiliki kemungkinan yang lebih kecil karena adanya bio-security. Kalau skala besar masih terkena juga, pasti karena adanya kesalahan dari prosedur yang diterapkan seperti disiplin dari anak kandang dan manajemennya. Banyak faktor yang mempengaruhi juga sehingga ayam menjadi lebih rentan penyakit. Untuk perusahaan besar pun akan sangat merugikan bila terkena penyakit karena berarti seluruh populasi harus dimusnahkan dan peternakan tidak dipakai paling tidak 6 bulan sehingga kerugian sangat banyak. Untuk hal ini maka prosedur dan disiplin dari manajemen kandang harus sangat baik. Hal inilah yang membedakan dengan peternakan rumah dimana ayam hidup bersama manusia dan ditengah perumahan. Bila banyak virus yang bertebaran dari manusia, serangga, burung dan hewan lain, maka ayam pun bisa semakin rentan penyakit. Untuk skala besar, mereka sudah menerapkan sistem Closed House sehingga udara yang keluar masuk pun diatur dan bersih dari hewan-hewan lainnya.
Kita semua sama-sama belajar. Bagian mana yang gak fair? kalau diberi tahu nanti saya jelaskan. thanks.
6. manglayang | 4 Januari, 2008 pukul 01:34
Menarik nih mas, kebetulan nyasar kesini, ikut komentar yah..
Pola peternakan ayam di Indonesia sudah menjadi industri. Saya setuju. Masalahnya, layaknya sebuah industri, banyak rantai proses didalamnya yang sebetulnya belum tentu ramah lingkungan, terutama bila dibandingkan dengan pola tradisional.
Saya ambil dari sisi pakan saja.
1. Mayoritas Industri pakan ayam sebagian besar (kalau tidak dikatakan seluruhnya) menggunakan bahan yang di impor (terutama jagung dan kedelai). Dimana selain tidak ramah bagi devisa Indonesia, pertanaman jagung dan kedelai di negara asalnya sudah full machinal yang tentu ditenagai oleh minyak bumi. Proses transportasi bahan2 tersebut ke negara kita juga tentu mengeluarkan gas2 pencemar. Juga fakta bahwa jagung dan kedelai selain untuk ternak pada awalnya ditanam untuk dikonsumsi manusia (meskipun yang sekarang ini sudah banyak dibuat varietas khusus untuk ternak).
Sapi, di negara kita lebih banyak dibudidayakan dalam skala kecil dan pola tradisional. Menu utamanya adalah rumput, yang ditanam, dirawat dan dipanen dengan cara manual dan berbahan bakar keringat petani :). Kalaupun ada makanan penguat yang diberikan, sebagian besar merupakan hasil samping (by-product) dari pengolahan tanaman pangan (kulit ari jagung, molasses, dedak padi, ampas gaplek, ampas tahu dsb). Dengan kata lain, dalam hal pakan, sapi cenderung tidak berkompetisi dengan manusia. Terutama bila dilihat dari makanan pokoknya yaitu rumput. Mengingat juga bahwa mayoritas petani skala kecil (di bawah 10 ekor per keluarga petani), mereka memiliki lahan rumput yang tidak jauh dari kandang, sehingga transport pakan dari kebun ke kandang cukup dipikul. Lagi2 bahan-bakarnya keringat saja 🙂
2. Produksi daging ayam (karena skala industri) yang selalu berorientasi ekonomi dan dihitung cermat selalu mengejar efisiensi pakan. Bukan rahasia bila dalam pakan dan air minum ayam sudah dicampur berbagai formula obat kimia, termasuk antibiotik untuk memacu pertumbuhan.
Sapi, khususnya yang di budidaya secara tradisional (seperti mayoritas yang ada di negara kita) hampir tidak mengenal antibiotik maupun intervensi kimia dari luar. Memang efisiensi produksi daging sapi yang sudah rendah jadi semakin rendah. Tapi itulah, daging sapi model begini sebetulnya sangat sehat, boleh dibilang near-organic, walaupun sapinya kurus :).
Kontribusi sapi di CO2 mungkin memang banyak, tapi harap diingat juga kontribusi oksigen yang dihasilkan dari pertanaman rumput, sekaligus juga fungsi penahan erosi dan penutup tanahnya.
Berbagai penyakit zoonosis seperti flu burung atawa antrax saya pikir penyebabnya bukan pada apakah itu peternakan besar atau kecil, biosecurity hanyalah usaha manusia untuk mengobati sakit yang juga diakibatkan oleh tingkah polah manusia itu sendiri. Saya lebih cenderung pada pola makan dan pemeliharaan ternak yang sudah menyimpang dari kodrat aslinya. Tulisan diatas juga menyingungg tentang sapi yang diberi gandum. Ini boleh dibilang wajar lah (walau dari jaman dulu, sapi ya makannya hijauan, bukan biji-bijian hehe) tapi sekarang ini, terutama di negara maju, selain biji, sapi juga diberi makan tepung darah, tepung daging dan tulang yang asalnya dari sapi juga.. ternak yang malang, mereka dipaksa jadi kanibal hehe.
Mungkin salah satu yang harus dilakukan adalah meningkatkan jumlah peternakan, baik ayam, sapi maupun ternak lain dengan pola-pola dan metoda budidaya yang sustainable, tidak industri sentris dan memperhatikan daya dukung lingkungan. Ndak gampang memang, dan ga selalu feasibel secara ekonomi.. tapi ya disitu tantangannya. Hanya saja, yang mau melakukan ini ga ada.. cman petani kecil yang mau, itu juga terpaksa karena ga punya pilihan hehe. Yang sudah jadi industri biar sajalah, toh ribuan orang juga yang makan dari situ..
Wah jadi curhat berkepanjangan nih hehe.. mohon maaf bila ada salah kata. Salut untuk tulisan kang dodolipet yang ciamiks. Bravo.
Rgds
7. arif | 29 Maret, 2008 pukul 10:07
anda mengatakan hal itu, berdasarkan data yang vaid tidak, karena jika andaa mengatakan hal seperti itu, anda otomatis ikut menghambat dunia peternakan sendiri, bukan mendukung, jadi anda saya kira mengatakan hal itu anda tidak salah karena itu hak anda, namun cobalah untuk berpikir kedepannya…..
8. Cinta Lingkungan Berarti Menghargai Makanan « Aku Ingin Hijau | 16 Juni, 2008 pukul 00:03
[…] boros energi tetapi juga bisa menjadi sumber penyakit. Sebelumnya saya juga sempat menulis mengenai “daging ayam yang lebih ramah lingkungan“ dan juga “fakta daging sapi” yang cukup berhubungan dengan artikel […]
9. ana | 3 Juli, 2008 pukul 14:44
saya salut sama manglayang, n setuju banget!
Koreksi itu baik agar hidup semakin baik, jangan dianggap ‘tidak mendukung’ dong.
mungkin hal ini terkesan menghambat dunia peternakan, tapi menurutku sebaliknya, fakta tersebut mengungkap sesuatu yang membuat dunia peternakan harus berbenah diri agar jadi lebih baik bagi kehidupan masyarakat.
10. Onod32 | 31 Juli, 2008 pukul 21:52
Gak ngaruh mau pake canvas bag, hemat kertas, hemat listrik, beli hybrid car…kalo manusia masih suka makan daging, tetep aja persentase sumbangsih global warmingnya lebih gede makan daging daripada green style life.
BE VEGETARIAN!
ongkos produksi untuk 1 porsi sayuran = 0.0098 galon bensin
ongkos produksi untuk satu porsi steak sapi = 0.1587 galon bensin atau 16 kali lebih banyak daripada onkos sayuran.
jadi mau green style life ky apapun juga paling ngurangin konsumsi bensin gak sampe 16x lebih besar daripada buat puasin makan daging.
Gas metana dari bokernya sapi mengikat panas inframerah 23 kali daripada gas CO2, artinya kalo kita makan daging = mempercepat mencairnya es di kutub 23 kali lebih cepat.
Satu sapi seberat 1.100 pound dapat memproduksi boker 14,6 ton setiap tahunnya atau setara emisi dari 11 mobil per tahun = artinya kalo kita makan daging 1 ekor sapi sama aja kita punya 11 mobil dgn asap knalpotnya kita nyalain setahun penuh…
masih berani makan daging?
11. Official Blog Meliana Sari » Blog Archive » Cinta Lingkungan | 6 Agustus, 2008 pukul 07:12
[…] boros energi tetapi juga bisa menjadi sumber penyakit. Sebelumnya saya juga sempat menulis mengenai “daging ayam yang lebih ramah lingkungan“ dan juga “fakta daging sapi” yang cukup berhubungan dengan artikel […]
12. oby | 26 Oktober, 2008 pukul 21:32
mas-mas dan mbak-mbak, klo beli daging protein nabati (daging sintetis) yg terjamin kualitas baik dan harga bersaing di daerah jakarta dmn ya?
13. Joko | 20 Februari, 2009 pukul 07:48
daging sapi di Jayapura 74.000/kg di Denpasar 42.000/kg di Yogyakarta 60.000/kg
14. edsanto | 15 Agustus, 2009 pukul 10:58
memang menurut hasil penelitian Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga yang dibentuk oleh PBB, industri peternakan menyumbang cukup besar pada efek pemanasan global. Salah satunya adalah karena ternak menghasilkan gas metan, dan N2O yang konon lebih merusak lingkungan dari pada CO2. Nah para ahli peternakan / biologi bisa memikirkan bagaimana mengatasi hal tersebut.
15. broto | 29 Januari, 2010 pukul 11:32
saya tinggal didesa mempunyai 6 ekor sapi , kotoran sapi saya buat untuk mupuk tanaman disawah agar subur dan hijau , saya juga punya tanaman jati meski tidak luas ,tetapi tumbuh subur karena kotoran sapi kami buat untuk mupuk . Apakah saya tergolong perusak alam karena gas mentana dari kotoran sapi tersebut .
16. Aku Ingin Hijau | 29 Januari, 2010 pukul 13:16
Menurut saya sih pak, karena bapak menggunakan kembali kotoran sapi tersebut sebagai pupuk, maka bapak malah ikut melestarikan lingkungan karena tidak menggunakan pupuk kimia yang notabene pembuatannya akan lebih merusak alam. Jadi bapak malah perlu lanjutkan dan menularkan apa yang telah bapak lakukan. kecuali kalau kotoran sapi tersebut tidak dipakai kembali malah dibuang ke sungai, nah itu baru ikut merusak pak.
17. Go Green di US | Nonikhairani | 17 Desember, 2013 pukul 22:25
[…] makan daging sapi. Selain gak sehat dan mahal kan katanya daging sapi itu gak ramah lingkungan. Kamu bisa cek di link ini . Selama di Medan saya biasanya hanya 1 kali dalam seminggu makan daging sapi padahal Matt gak bisa […]