Mudik Beda, Mudik Bersepeda
18 September, 2009 at 23:31 7 komentar
Disadur dari Kompas 18 September 2009
Oleh Tjahja Gunawan Diredja dan Agung Setyahadi
Mudik Lebaran dengan mobil, sepeda motor, kapal laut, pesawat, atau kereta api sudah biasa dilakukan sebagian masyarakat kita. Namun, kalau mudik dengan sepeda, bisa dibilang masih langka. Inilah kisah para pemudik sepeda.
Agung Kuncoro dan tujuh pesepeda lainnya dari Komunitas Jalur Pipa Gas (JPG) sengaja mudik dengan sepeda menuju Boja, Semarang, Jawa Tengah.
Ketujuh pesepeda itu berangkat ramai-ramai pada Rabu (16/9) pagi dari Mpok Cafe, tempat kumpul anggota JPG, dan dilepas oleh teman-teman lainnya. Mereka akan menempuh jarak sekitar 565 kilometer dan direncanakan tiba di Boja pada hari Sabtu (19/9).
”Yang mudik dengan bersepeda ini multiprofesi. Ada yang arsitek, desainer, wiraswasta, dan seorang atlet balap sepeda,” kata Agung.
Suradji atau Aji (33), dengan tujuh kawannya dari kawasan Situ Gintung, Ciputat, berangkat Jumat dini hari menuju Pemalang, Jawa Tengah. Jika lancar, mereka akan sampai Desa Midodaren, Petarukan, pada Sabtu pagi.
Yang paling nekat Fatkhul Hadi (42). Warga Penggilingan, Jakarta Timur, yang berprofesi sebagai tukang jahit itu, ditemui sedang bersepeda sendirian ke arah timur di jalan raya pantura di Sukamandi, Jawa Barat, Minggu. ”Saya mau mudik ke Bumiayu, Brebes,” ujarnya mantap.
Alasan mereka nekat mudik naik sepeda pun bermacam-macam. Kelompok JPG, misalnya, bertujuan melestarikan kultur pulang kampung sekaligus melestarikan lingkungan hidup dengan memperkenalkan sepeda sebagai moda transportasi alternatif untuk mudik.
Aji menyatakan, selain karena hobi, mudik bersepeda bertujuan mulia. ”Kami ingin memberikan contoh kepada anak cucu kami. Untuk mencapai tujuan, kita harus berjuang dan bersusah-sudah dulu, jangan lembek,” kata Aji.
Sementara bagi Fatkhul, mudik bersepeda menjadi semacam perlawanan terhadap kultur mudik orang kampung selama ini. Pemudik Lebaran biasanya ingin menunjukkan kesuksesan di perantauan pamer materi, seperti motor, mobil, dan perhiasan.
”Kadang semua itu semu. Saya ingin seperti apa adanya. Jika mudik hanya untuk pamer harta, esensi berlebaran tidak kena. Mudik intinya bersilaturahim dengan keluarga, menguatkan tali kekeluargaan dalam hidup yang bersahaja,” tutur bapak dua anak ini.
Tantangan berbeda
Selain daya tahan, bersepeda di jalan raya membutuhkan kesabaran karena mereka harus ”berhadapan” dengan berbagai kendaraan bermotor pemudik lain. Fatkhul, misalnya, hampir saja tersambar bus di Cikampek.
Anggota JPG, yang biasa bersepeda di lokasi offroad, itu harus melakukan beberapa penyesuaian, termasuk mengganti ukuran ban dan garpu roda sepeda. Barang bawaan mereka muat dalam tas khusus sepeda yang dicantelkan di bagian belakang.
Selain itu, mereka juga melakukan latihan khusus. Agung mengatakan, mereka sempat berlatih bareng menempuh jarak 100 kilometer sampai daerah Leuwiliang dan Semplak di Bogor, Jawa Barat. ”Kami melakukan latihan di jalan-jalan datar untuk meningkatkan endurance,” ungkap Jo de Fretes (51), peserta tertua mudik bareng Komunitas JPG.
Kelompok Aji bahkan sudah berlatih fisik dengan bersepeda sampai ke wilayah-wilayah bertanjakan berat dan jauh. ”Hampir semua wilayah sudah kami jangkau, seperti kawasan Puncak, Gunung Bunder, dan Cikampek,” kata Aji.
Jenis dan latar belakang sepedanya pun macam-macam, ada yang bawa sepeda bermerek yang sudah dimodifikasi, sepeda rakitan sendiri, sampai sepeda pinjaman seperti yang dipakai Fatkhul.
Baju khusus bersepeda, helm, kotak P3K, kunci-kunci ban cadangan, pompa, hingga gotri, menjadi perlengkapan standar yang dibawa para pemudik dengan sepeda ini. ”Sebelum berangkat, saya minum jamu tambah telur bebek biar stamina mantap,” ujar Fatkhul, yang juga membawa surat pengantar dari ketua RT-nya agar aman di perjalanan.
Apakah mereka akan tetap bersepeda saat kembali ke Jakarta nanti? ”Penginnya nanti balik ke Jakarta bersepeda lagi, tetapi kalau mendesak, ya, kami naik bus, sementara sepeda-sepeda kami titipkan di truk teman,” kata Aji.
Entry filed under: Berita Lingkungan Lokal, Hemat Di Jalan, Jalan-jalan.
7 Komentar Add your own
Tinggalkan Balasan
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. andif | 19 September, 2009 pukul 05:16
salut jika kita bisa mudik dengan sepeda 🙂
2. Rika Oktianti | 24 September, 2009 pukul 16:21
apakah benar-benar aman mudik memakai sepeda?
3. wahyu | 30 September, 2009 pukul 16:25
@rika : alat transportasi apa yg menjamin 100% keamanan? yg penting kita sudah persiapkan semaximal mungkin maslah yg akan kita hadapi hanya Tuhan yg tahu dan Dia tidak akan memberi cobaan melebihi kemampuan umat-Nya SALUUUTTT buat goeser
4. marwati.. | 8 Oktober, 2009 pukul 17:14
yaaaaaaaaaaaaah
sy mah g mungkin mudik pake sepeda.
lah wong g bisa naek sepeda kok.
ha ha
tp dunia belom kiamat
buktinya bisa naek motor…
tinggal di gas…
ngacir deh…
5. iwan agustinus | 14 Oktober, 2009 pukul 11:30
mestinya pemerintah membangun kota2 di Indonesia meniru vancouver dan melbourne.
http://iwan-agustinus.blogspot.com
6. ekofuji | 19 Oktober, 2009 pukul 14:06
pas mudik kemarin aku kena musibah. ban ku bocor di Pasuruan, tapi anehnya kok bocornya pas tepat di depan tukang tembel ban…..
aku jadi curiga….
7. ismail agung | 22 Januari, 2010 pukul 14:31
Patut ditiru nih!! Walau hanya mudik sejauh 30 km aja…