Krisis Air di China. Belajar dari kesalahan negara lain.
23 September, 2008 at 12:49 3 komentar
Disadur dari Koran Tempo tgl 23 September 2008
Mission Impossible?
Beijing adalah satu di antara megakota di dunia yang paling miskin air. Penyedotan air tanah secara berlebihan yang menyebabkan muka airnya anjlok cepat (turun 30 meter sejak 1959) telah melahirkan masalah yang luar biasa untuk kota ini dan Cina Utara pada umumnya.
Namun, krisis air bukanlah masalah baru untuk Beijing dan Cina. Sejak hampir 60 tahun lalu penduduk di Beijing sudah “bermain-main” di batas garis kemiskinan air, 1.000 meter kubik air per kapita. Pada 2007 lalu, angkanya sudah kurang dari 230 meter kubik. “Kini, dengan dua dam terbesar yang terus mengering yang dimiliki kota itu, sangat sulit melihat sebuah gelas bisa terisi air sampai sepersepuluhnya,” tulis situs Ecoworldly.
Kini, Beijing menghadapi sebuah misi yang kelihatannya impossible, yang mungkin berguna sebagai pelajaran untuk negara lain, termasuk Indonesia: terlalu banyak orang tapi terlalu sedikit sumber daya. Berikut ini gambarannya:
- Separuh dari 617 kota besar di Cina, termasuk Beijing, mengalami kelangkaan air.
- Sedikitnya, 300 juta orang di Cina tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dan bersih.
- Sebanyak 90 persen air tanah di kota-kota dan 75 persen air sungai serta danau terpolusi.
- Setiap tahun, industri di Cina membuang begitu saja–tanpa mengolah lebih dulu–40 miliar sampai 60 miliar ton limbah cair ke sungai dan danau.
- Setiap hari, 90 juta warga menggunakan air yang tercemar.
Air Untuk Beijing
CHANGGUCHENG — Tiga tahun lalu, Jia Jianguo tak mengerti kenapa pejabat pertanian setempat memintanya berhenti mengambil air dari dam. Kalaupun butuh air, ia diharuskan menggali sumur sendiri. “Saat itu cuma dibilang bahwa air dalam dam sudah tidak cukup lagi,” kata petani berusia 60 tahun itu.
Jia dan para petani lainnya di desa di Provinsi Hebei itu akhirnya menggali sebuah sumur sedalam 30 meter. Memang, ladang gandum dan jagung mereka akhirnya bisa segar kembali. Tapi, muka air tanah yang terus melorot memaksa Jia dan kawan-kawannya terus memburu air hingga kedalaman sumurnya itu kini sudah lebih dari 40 meter.
Jia sampai saat ini tak pernah tahu bahwa air dalam dam yang biasa mengairi ladangnya justru “ditimbun” untuk dialirkan ke Beijing. Ini adalah bagian dari proyek raksasa penyodetan Sungai Yangtze di selatan untuk wilayah Cina di utara yang sedang dibangun sejak 2002 lalu.
Khusus di Beijing, laju urbanisasi telah menggandakan tingkat konsumsi air selama 1995 sampai 2005 menjadi 9,4 juta meter kubik per hari. Angka itu, ditambah dengan musim kering yang menggila selama satu dekade, telah membuat ibu kota nelangsa. Total, untuk kebutuhan pemukiman, pertanian, dan industri, air dalam tanah Beijing sudah defisit sebesar 400 juta meter kubik setiap tahunnya.
“Transfer air darurat ke ibu kota, Beijing, secara politik adalah sebuah isu penting dari kepentingan besar ekonomi provinsi kita,” begitulah bunyi pernyataan resmi dari pemerintahan di Hebei, Kamis pekan lalu. Hari itu, kanal sejauh 305 kilometer yang membentang dari ibu kota Provinsi Hebei di Shijiazhuang hingga ke Beijing sudah mulai berfungsi.
Jia, kalaupun ia tahu, tentu tak bisa berbuat apa-apa. Keputusan sudah diketuk di kabinet Pemerintahan Komunis Cina yang memaksa Hebei–sejatinya bersama Beijing dan wilayah Cina Utara lainnya terbelit kekeringan sejak 1999–merelakan sumber airnya yang sudah sangat terbatas itu untuk dibagi lagi.
Total, ada empat dam di Provinsi Hebei yang diminta untuk “melunaskan dahaga” ibu kota dan 17,5 juta penduduknya. Rencana itu sempat akan dimajukan menjelang Olimpiade pada Agustus lalu. Saat itu, pemerintah Cina kebat-kebit karena pesta olahraga dunia itu diperkirakan bakal meningkatkan lagi tingkat konsumsi air sebesar lima persen.
Belum lagi kebutuhan untuk tampil “hijau” yang mensyaratkan venue-venue selalu bersih serta “mengganti” air sungai dan danau-danau yang sebenarnya sudah kotor dan tercemar. Tapi, pertengahan Agustus lalu, Menteri Perairan Hu Siyi tiba-tiba saja mengaburkan rencana penyodetan yang memicu protes dari kelompok pembela lingkungan karena dianggap tidak menyelesaikan masalah. Hu Siyi menyatakan bahwa Olimpiade tidak akan berpengaruh banyak terhadap suplai kebutuhan air di ibu kota.
Kini, setelah sebulan pesta Olimpiade berlalu dan seiring dengan musim kering yang kembali mendekati Cina Utara, Hu Siyi tak bisa berpura-pura lagi. Beijing harus benar-benar diamankan. Di sinilah peran Hebei yang akan memompa air sampai 300 juta meter kubik. Jumlah yang dipasok hingga 174 hari, sampai Maret tahun depan, itu (hanya) cukup untuk kebutuhan air di ibu kota selama sebulan.
“Kanalisasi ini memang sudah menjadi bagian dari rencana awal,” ujar Lu Shengfang, Wakil Direktur Proyek Penyodetan Utara-Selatan. “Cina Utara mengalami defisit air yang kronis, termasuk Beijing. Dengan musim hujan yang baru lalu, kami yakin tiga dam di Hebei terisi air sekitar 1,33 miliar meter kubik yang cukup untuk membantu Beijing.”
Total, Xinhua memberitakan, pada 2010 nanti ketika proyek sodetan Utara-Selatan sudah semakin menunjukkan rupanya, Beijing bisa menerima sampai satu miliar meter kubik air setiap tahun dari Sungai Yangtze. WURAGIL/AFP/SFGATE/CHINAPOST
Entry filed under: Berita Lingkungan, Berita Lingkungan Global.
3 Komentar Add your own
Tinggalkan Balasan
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed
1. Cecep Mahbub | 23 September, 2008 pukul 18:31
membaca artikel ini jadi ngeri juga ya. kapan jakarta dan sekitarnya krisis air? jawabannya mungkin tinggal menunggu waktu 😀
2. ratri | 25 September, 2008 pukul 10:24
di posting akuinginhijau yang lalu kalau tidak salah : tahun 2030 pulau jawa kehabisan air….:(
3. J-me | 25 September, 2008 pukul 23:34
ya…masalah lebih gawatnya lagi adalah Es di kutub mencair bisa-bisa sbelum tahun 2030 di daerah dataran rendah jawa ,malah terbenam air laut… so…mari kita berusaha semaksimal mungkin menghentikan pemenaan global…