Jawa Defisit Air
13 September, 2011 at 21:19 Tinggalkan komentar
Disadur dari Republika Online
JAKARTA – Mayoritas daerah di Pulau Jawa mengalami defisit air satu hingga delapan bulan dalam setahun. Krisis air itu diperkirakan meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk, degradasi lingkungan, dan menurunnya ketersediaan air.
Berdasarkan kajian Bappenas, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, 77 persen kabupaten/kota di luar Jabotabek di Pulau Jawa sudah mengalami defisit air. Pada 2025, jumlah daerah yang mengalami krisis air akan bertambah menjadi sekitar 78,4 persen. ”Dengan defisit mulai dari satu hingga dua belas bulan atau sepanjang tahun,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Ahad (11/9).
Dari wilayah yang mengalami defisit, Sutopo menyebutkan, 38 kabupaten/kota atau sekitar 35 persen telah mengalami defisit tinggi. Sedangkan 60 persen wilayah Jabotabek mendapatkan pasokan air dari Waduk Jatiluhur yang terletak di Purwakarta, Jawa Barat. Dia meminta agar kondisi ini diperhatikan secara khusus dan dicarikan solusi jangka pendeknya. Upaya penyediaan air melalui pemanenan air hujan saat musim penghujan dan konservasi tanah perlu dilakukan.
Untuk mendukung surplus beras sepuluh juta ton, pemerintah menargetkan minimal 500 ribu hektare sawah bisa terairi melalui jaringan irigasi baru. Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak mengatakan, pemerintah membangun jaringan irigasi di lokasi-lokasi yang teridentifikasi baik atas rekomendasi Kementerian Pertanian. ”Tentunya, Kementan yang mencetak sawahnya,” katanya kepada //Republika.
Jaringan tersier untuk pengairan, lanjut Hermanto, dibuat dengan tiga tipe. Pertama, tipe waduk yang mampu mengairi hingga 800 ribu hektare areal pertanian. Kedua, pengairan dengan pompanisasi memanfaatkan air sungai. Terakhir, embung-embung air yang diutamakan pada daerah yang hanya mengandalkan tadah hujan.
Ketua Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Sofwan Hidayat, mengatakan, petani di daerahnya yang mengalami kekeringan sepenuhnya mengandalkan potensi cadangan air dari bor pompanisasi. Daerah rawan kekeringan seperti di Kecamatan Kandanghaur, Balongan, Loh Sarang, dan Loh Bener mengandalkan embung air. ‘’Hingga saat ini sudah ada 10–12 embung baru sebagai sumber pengairan,’’ ungkapnya.
Ketua KTNA Jawa Tengah Siti Yamroh mengatakan, petani telah mengantisipasi kekeringan dengan mema tuhi kalender tanam. Ia mencontohkan, Kabupaten Kendal yang biasanya melakukan penanaman padi, menggantinya menjadi tanaman buah dan palawija, seperti kedelai, jagung, kacang, dan semangka yang lebih hemat air.
Namun, tidak berarti wilayah Jawa Tengah bebas dari kekeringan parah. Kekeringan juga terjadi di Wonogiri dan eks Karesidenan Banyumas. Ia memperkirakan kekeringan hanya ber langsung hingga sebulan ke depan.
Berdasarkan data Di rektorat Perlindungan Tanaman Pangan, selama Januari hingga Juli 2011, luas tana man padi yang puso akibat kekeringan 2.089 hektare. Provinsi terluas yang mengalami puso adalah Sulawesi Se latan seluas 1.480 hektare, berikutnya Jawa Barat (37 hektare), Aceh (143 hektare), dan Jawa Tengah (39 hektare).
Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Sumardjo Gatot Irianto menga takan, pemerintah telah me nyalurkan dana penggantian gagal panen untuk petani akibat kekeringan, ban jir, dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Dana penggantian tersebut hingga September 2011 su dah tersalurkan bagi 27 ribu hek tare dari 100 ribu hektare yang dialokasikan pemerintah.
Biaya penggantian sebesar Rp 3,8 juta per hektare de ngan total Rp 388 miliar. c07/riga nurul iman ed: budi raharjo
(-)
Entry filed under: Berita Lingkungan Lokal.
Trackback this post | Subscribe to the comments via RSS Feed